Friday, May 16, 2025

Short Story: Titipan yang Bukan Milikku


 


Aku mengulum senyum ketika melihat sebungkus kecil cokelat rasa matcha di atas meja kerjaku saat aku baru kembali dari ruang rapat. Tapi belum sempat senyum itu mendarat sempurna, rasanya kayak ditarik balik. Karena makin sering aku mendapati cemilan semacam ini di mejaku, makin sering juga aku merasa bersalah. Padahal aku nggak salah apa-apa, kan? Aku segera memfoto cokelat tersebut dan mengirimkan fotonya kepada satu-satunya tersangka. 



Alana Hanafiah

Ini kerjaan lo lagi ya?


Dan balasannya langsung aku terima dalam hitungan detik


Nazhif Pradhana

Titipan itu tuh


Titipan? Siapa yang akan percaya dengan jawabannya kalau ini bukan kali pertama aku menerima cemilan semacam ini di mejaku?


Alana Hanafiah

Titipan siapa?


Nazhif Pradhana

NN


Nah kan. Dia cuma nggak mau mengaku aja kalau ini adalah ulahnya. Kali ini cokelat. Dua hari sebelumnya segelas kopi. Minggu lalu sebungkus pistachio. 


Namanya Nazhif. Rekan kerjaku yang rasanya sekarang bukan hanya sekedar rekan kerja. Aku lupa bagaimana awalnya kami bisa dekat. Mungkin karena sebelumnya kami satu divisi. Mungkin juga karena pembawaannya yang ekstrovert, sangat easy going, dan mudah bergaul. Atau mungkin karena kebetulan jokes nya bisa dengan mudah aku terima. 


Aku nggak pernah merasa kedekatan kami istimewa karena karakternya yang memang sangat supel membuat Nazhif sangat mudah akrab dengan banyak orang, bukan hanya denganku. Dengan teman-temanku yang lain juga demikian. 


Jangan kira segala jenis kudapan yang ada di mejaku itu dia berikan secara cuma-cuma, atau bentuk perhatiannya kepadaku secara spesial. Cokelat, kopi, pistachio, bakpia, dan segala kudapan lainnya dia berikan sebagai ucapan terima kasih atau imbalan karena aku berbaik hati mau menerima permintaan titip absennya. 


Sejak pandemi, sistem presensi di kantorku memang cenderung lebih longgar. Kami cukup presensi menggunakan aplikasi pada smartphone kami, nggak perlu menggunakan mesin face recognition atau fingerprint. Berhubung rumah Nazhif berlokasi di ‘planet’ Bekasi dan sering kali datang terlambat, jadilah sesekali dia minta tolong titip absen paginya ke aku. Itu lah alasannya beberapa hari sekali tiba-tiba ada snack yang tergeletak di mejaku. Dan ini bukan soal snacknya. Ini soal kebiasaan. Pola.



Alana Hanafiah

Udah gue bilang nggak perlu kasih apa-apa, Zhif. 


Dan aku selalu protes tiap kali dia memberikanku ini itu. Aku membantunya karena yang dia minta memang nggak memberatkanku. Jadi aku merasa nggak perlu diberikan apapun sebagai imbalan atau tanda terima kasih. Selain itu, aku juga nggak mau teman-temanku salah paham kalau melihat ada snack semacam itu di mejaku secara tiba-tiba. 


Tapi seperti biasa, protesku cuma dibalas dengan stiker atau emoji receh dari dia.


Hari itu kerjaan lagi lumayan santai. Aku menyandar di kursi, scrolling timeline Instagram sambil nunggu jam makan siang. Tanpa sengaja, aku ngeklik story salah satu teman kantor, Dina, anak finance yang juga teman Nazhif.


Videonya singkat. Meja makan. Beberapa anak kantor lagi duduk bareng. Suasana ramai. Kamera sempat menyorot Nazhif, yang sedang memangku seorang anak kecil, tangannya sibuk membersihkan sisa es krim di pipi si anak. Di sebelahnya, seorang perempuan duduk santai sambil tertawa. Matanya penuh kelembutan, matanya seperti rumah.


Aku diam. Nggak ada tag, nggak ada penjelasan. Tapi aku tahu. Dan anehnya, video singkat itu berhasil menamparku lebih keras dari semua nasihat. Selama ini aku tahu. Tahu, tapi entah kenapa, selalu aku anggap sebagai hal kecil yang bisa aku pinggirkan. Bukan karena aku ada niat aneh. Bukan. Tapi karena hubungan kami memang nggak pernah kelewat batas. Cuma ngobrol. Cuma titip absen. Cuma bales-balesan chat. Cuma perhatian kecil kayak cemilan di meja. Cuma... cuma... cuma.


Ternyata kata cuma bisa menipu juga.


Karena tanpa sadar, aku mulai terbiasa. Nunggu chat-nya. Nunggu lelucon recehnya tiap pagi. Nunggu hal-hal sepele yang lama-lama jadi nggak sepele. 


Dan lebih parahnya lagi, aku nggak pernah cerita ini ke siapa-siapa. Karena di mata orang, kedekatan kami cuma sebatas rekan kerja yang akrab. Yang kompak. Yang nggak mungkin ada apa-apa. Dan aku membiarkan anggapan itu terus hidup.


***

Sorenya, aku memutuskan buat mendatangi mejanya. Nggak ada cokelat atau kopi kali ini. Cuma aku yang berdiri sambil bawa dua bungkus snack dari pantry


“Gue titip ini, ya,” kataku, menaruh bungkusan snack di mejanya.


Dia mengernyit. “Apaan?”


“Balasan. Buat semua titipan lo kemarin-kemarin. Gue lagi pengin nutup utang.”


Dia kelihatan bingung. “Eh, Lan,”


Aku senyum. Bukan senyum basa-basi, tapi senyum yang melepas. 


“Mulai besok, cari orang lain buat nitip absen. Gue takut lo kebiasaan.”


Dan sebelum dia sempat tanya lebih lanjut, aku balik badan dan pergi. Pada langkah-langkahku yang terasa ringan tapi penuh itu, aku sadar; kadang yang perlu dijaga bukan perasaan orang lain, tapi batas-batas yang sempat kita longgarkan sendiri.


Dan mulai hari ini, aku belajar untuk nggak menerima titipan yang bukan hakku, terutama kalau yang menitipkannya bukan milikku.



***


Setelahnya, aku mulai membiasakan diri untuk bersikap seperlunya. Kalau kami ketemu di kantor, aku tetap menyapa. Kalau dia butuh bantuan soal kerjaan, aku tetap jawab. Tapi semuanya aku tahan dalam batas yang jelas, yang aku bentuk sendiri. 


Mungkin terasa kaku. Tapi kaku lebih aman daripada salah.


Kadang aku masih nemu momen-momen kecil yang bikin aku mikir, "kalau dulu, dia pasti udah nyelipin jokes receh di situ." Atau, "kalau dulu, dia pasti udah bilang makasih pake bungkus snack." Tapi sekarang nggak. Sekarang kami cuma… rekan kerja biasa. Dan itu cukup.


Karena buatku, perhatian yang datang dari orang yang salah, bukan hal yang perlu disyukuri. Apalagi disimpan. Aku senang pernah dekat. Tapi aku lebih lega bisa mundur selangkah.


Biar gak ada yang perlu dijelaskan. 

Biar gak ada yang perlu disesali.


Wednesday, April 8, 2020

Short Story: Minta Kepada Siapa

pic from pinterest

Aku mengaduk es batu pada segelas green tea di hadapanku tanpa minat. "Serius nggak bisa nih, Ndin?" Kembali aku mengulang pertanyaan yang sama, sambil menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa cafe, yang sayangnya tidak terlalu empuk ini.

"Iya, sorry banget, Lan. Ini bos gue juga ngabarinnya dadakan banget." Jawab Andini dari ujung sambungan telepon. Jawaban yang sukses membuatku frustasi.

Andini adalah sahabatku semasa kuliah, yang saat ini sudah sukses menjadi penulis novel sekaligus influencer yang diidolakan oleh banyak generasi millennials. Sudah sejak awal bulan yang lalu aku memintanya untuk menjadi pembicara pada seminar orientasi mahasiswa baru di kampus almamater kami, yang sekarang ini juga menjadi tempatku mencari nafkah.

Acara tinggal satu pekan lagi dan setengah jam yang lalu Andini baru mengabarkan kalau tiba-tiba dia dijadwalkan untuk mengikuti training di Kuala Lumpur selama seminggu oleh kantornya. Selain sukses sebagai penulis, temanku yang satu ini memang masih berprofesi sebagai karyawan di salah satu kantor konsultan di Jakarta.

"Emang trainingnya nggak bisa ditunda dulu gitu, Ndin?" Pintaku sekali lagi, masih berusaha membujuknya.

Sudah empat bulan terakhir ini aku bekerja sebagai Public Relations di kampus tempatku berkuliah dulu. Minggu depan kami akan mengadakan orientasi mahasiswa baru dan salah satu mata acaranya adalah seminar yang akan diisi oleh alumni kampus yang bisa dikatakan sudah sukses dan punya nama.

Teman-teman kantor yang mengetahui bahwa aku bersahabat dengan Andini Sarananta, penulis muda yang novelnya akan segera diangkat ke layar lebar dan digandrungi banyak remaja, lantas memintaku untuk menghubungi Andini agar dia bersedia menjadi pembicara pada seminar nanti. Semua prosesnya lancar-lancar saja pada awalnya. Sampai siang ini..

"Nah itu dia masalahnya. Yang ngatur jadwal trainingnya kan bukan gue, Alanaa. Kalo bisa milih juga gue nggak mau ikut training sekarang." Jelas Andini dari ujung sambungan telepon, membuatku makin tidak berselera menghabiskan spaghetti carbonarra yang sudah ku pesan dan baru aku makan kurang dari sepertiganya.

Sudah sekitar setengah jam aku duduk di cafe ini sendirian. Cafe dengan interior serba putih yang sangat cozy dan lokasinya cukup dekat dengan kantor. Maksud hati ingin memanjakan diri, kabur dari kantor di jam makan siang untuk sedikit me time sebelum nantinya kembali ke kantor dengan jadwal meeting untuk membicarakan persiapan masa orientasi mahasiswa baru. Rencana me time yang jadi berantakan semenjak Andini meneleponku dan mengatakan tidak bisa menjadi pembicara seminar. Aku harus bilang apa ke timku saat meeting nanti??

"Atau lo cuti aja gimana? Jadi lo nggak perlu ikutan training, kan?" Usulku, masih tetap berusaha. 

"Ngajuin cuti pas jadwal training sih sama aja gue ngajuin surat pengunduran diri, Lan." Jawab Andini yang sepertinya mulai lelah memberikan penjelasan kepadaku. 

"Terus gue gimana dong, Ndin? Gue kan udah minta sama lo dari hampir dua bulan yang lalu. Masa dibatalin gitu aja? Gue harus nyari pembicara pengganti dari manaaa?" Aku kembali merengek sambil mulai menahan tangis. 

"Yah, Lan.. Gue minta maaf banget tapi gue beneran nggak bisa. Gue janji deh, ini gue sambil coba kontak temen-temen penulis lain yang kira-kira bisa gantiin gue. Kalo udah dapet gantinya, gue langsung hubungin lo. ASAP." Ujar Andini, berusaha menghiburku. Aku hanya menghela napas sambil mengaduk spaghetti di piringku tanpa minat.

"Lan? Haloo, Alana?"  

"Iya, Ndin. Ya udah kabarin aja kalo lo bisa dapet pembicara pengganti, ya. Bye, Assalamu'alaikum." Aku langsung mematikan sambungan telepon tanpa merasa perlu menunggu Andini membalas salamku. Aku masih kesal dengan sahabatku ini, walaupun aku tahu semua ini terjadi di luar kuasanya. 

Pupus sudah harapanku menjadi karyawan baru yang teladan. Saat dapat tugas untuk menghubungi pembicara, aku sangat excited karena rasanya bukan perkara sulit untuk meminta Andini mengosongkan jadwal. Sahabatku yang super ceria itu pasti mau membantuku. Sayangnya aku lupa bahwa dia juga seorang karyawan dengan jadwal pekerjaan yang padat luar biasa dan sewaktu-waktu jadwalnya bisa berubah. Alih-alih jadi karyawan baru yang teladan, sekarang aku justru harus memutar otak untuk mencari solusi sebelum meeting siang ini dimulai sekitar satu jam lagi. Nggak mungkin aku hadir meeting dengan berita buruk dan tangan kosong seperti ini, kan? Aku harus minta tolong ke mana lagii?

"Bun, tadi Tania di sekolah pake tas baru. Bagus deh tasnya, Bun. Ada gambar unicorn sama ada sequin nya. Kata Tania itu namanya tas smiggle. Naya mau tas kayak punya Tania itu, Bun." Celoteh anak perempuan di meja sebelah reflek membuatku menoleh.

Ku lihat Ia sedang menarik ujung kerudung bunda nya dengan tatapan penuh harap. Aku tebak usianya sekitar 7 atau 8 tahun, masih mengenakan seragam putih-merah dengan kerudung yang sudah sedikit berantakan. Permintaan anak itu menarik perhatianku, sejenak membuatku lupa dengan permasalahan yang aku hadapi. Well, tas smiggle kan nggak murah. Cukup brand minded juga ya anak SD zaman sekarang.

"Tas punya Naya kan masih bagus," Jawab bundanya acuh tak acuh, sambil membalik daftar menu yang dipegangnya. Anak kecil yang sepertinya bernama Naya tadi lantas menyandarkan tubuhnya pada lengan sang bunda, masih ingin meneruskan negosiasinya. 

"Iya tapi tas Naya kan nggak ada sequin nya, Bunda. Nggak keren kayak punya Taniaa." Ucap anak itu merajuk kepada bundanya. Kulihat kali ini sang bunda menghadapkan badannya ke anak kecil tadi, menatap anak itu dengan serius, kemudian mengatakan,

"Kalo Naya mau tas itu, minta sama Allah. Minta sama Ar-Razzaq untuk kasih rezeki ke Ayah sama Bunda. Minta sama Al-Hadi biar kasih petunjuk ke Ayah sama Bunda buat cari rezeki yang halal biar bisa beliin Naya tas baru. Hayo coba tadi pas shalat dzuhur Naya berdoa nggak?" Ucapan Bunda Naya ini rasanya bagai tamparan untukku. 

Minta sama Allah, minta sama Ar-Razzaq, minta sama Al-Hadi

Apa aku sudah meminta bantuan kepada Yang Maha Memberi Petunjuk atas segala permasalahanku ini? Aku minta bantuan kepada Andini seolah-olah hanya Andini lah yang dapat menolongku, lantas frustasi ketika ternyata harapanku tidak berjalan sesuai rencana. Aku lupa bahwa ada An-Nashir, Yang Maha Penolong, tempat aku seharusnya mengadu mengharap pertolongan pertama kali. Sekarang ini aku bahkan belum sahalat dzuhur! Astagfirullah..

"Oh iya, Naya lupa, Bunda. Naya berdoa sekarang, deh." Ucap anak itu seraya mengangkat kedua tangannya sambil mulut mungilnya bergerak-gerak, berbisik lirih mengucap doa dengan bahasa kanak-kanaknya yang sungguh menggemaskan. 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Terima kasih, Bunda dan Naya untuk pengingatnya! Ucapku dalam hati, kemudian mengambil ponsel dan dompetku untuk bergegas ke mushala cafe. Mushala kecil berukuran 3 x 4 meter inilah yang menjadi saksi bisu 'curhat'ku kepada Allah, mengutarakan segala permasalahanku tanpa adanya kata yang terucap. Tak terasa pipiku mulai basah akibat air mata yang turun tanpa aku komando. Tangisan ini bukan karena Andini yang tiba-tiba membatalkan janjinya kepadaku, bukan pula karena aku belum berhasil mendapatkan pembicara untuk menggantikan Andini. Tangisan ini adalah tangisan malu, malu karena aku melupakan Dzat yang seharusnya menjadi satu-satunya tempat untukku bergantung. Malu karena tidak sepatutnya aku menyalahkan Andini. Segala permasalahan yang aku alami pastilah akibat dosa dan maksiat yang aku lakukan, entah sadar ataupun tidak.


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. Aku menyeka air mataku lalu membaca pesan tersebut. Pesan dari Mbak Lita, atasanku di kantor. Kali ini aku sudah lebih tenang dan pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Dunia tidak akan kiamat hanya karena Andini tidak bisa menjadi pembicara seminar, kan? Timku di kantor pasti punya kenalan alumni sukses lainnya yang bisa menggantikan Andini. Aku hanya butuh bekerja lebih keras lagi, dan mempersiapkan diri untuk lembur tentunya.

Mba Lita (081234xxxx)

Alana, masih lunch di luar ya? Meeting akan kita majukan, ada perubahan agenda. Pihak televisi menawarkan kerjasama. Acara Telinga Nashwa direncanakan akan live di acara semintar orientasi mahasiswa baru. Otomatis kita tidak bisa menjadikan Andini Sarananta sebagai pembicara karena pembicara akan diisi Nashwa Syahab selaku host Telinga Nashwa sekaligus alumni kampus ini. Bisa segera kembali ke kantor? 


Masya Allah.. Doaku dibayar kontan! 

Sunday, July 7, 2019

Merasa Diawasi


bismillah..

Hey! It's been a while since the last time i've posted something here. Now is Dzulqo'dah already and I just trifled my Syawal away. Sepanjang bulan Syawal kemarin ga dateng ke kajian manapun dan rasanya keriiiiiiing banget. Bener-bener ngerasa lost aja gitu. Dan jadinya banyak ngerjain hal yang sia-sia kayak baca novel, nonton web series mulu, dengerin lagu, dll dll dll yang ga perlu dijelasin juga sih ya sebenernya. Heu

Mulut tuh juga rasanya jadi enteeeng banget buat ngomongin orang, nyinyir, komen yang ga perlu, bercanda berlebihan, yaa pokoknya sebulan kemarin itu rasanya futur banget deh. Padahal baru aja pisah sama Ramadhan ya :""

Nah alhamdulillah akhirnya Sabtu kemarin aku bisa dateng lagi ke kajian rutinnya Ustadz Nuzul Dzikri di Masjid Nurul Iman Blok M Square setelah hampir sebulan 'meliburkan diri' ga dateng-dateng kajian. Emang bener ya. obatnya futur itu ya dateng ke majlis ilmu dan kumpul sama orang-orang shalih. Ndilalah kok ya materi kajian kemarin itu rasanya paaaas banget. Berasa ditampar bolak-balik gitu akutuh rasanya. Nah karena materi kajian kemarin juga yang bikin aku pengen blogging lagi dan share sedikit materinya di sini. Minimal tulisan ini bisa jadi reminder buat aku sendiri kalo lagi iseng baca-bacain blog, mengingat kayaknya blog ini sekarang udah nggak ada pembacanya juga hahaha ngenes yha. Aku juga ga mau share full materi kajiannya di sini sih. Cuma mau share beberapa quotes yang berhasil 'nyentil' aku di kajian kemarin. Duh intro nya kepanjangan ya sepertinyaa.

Muraqabatullah,
merasa di awasi oleh Allah.

"Orang yang punya muraqabatullah, sikapnya 24 jam akan sama. Berbuat baik di manapun, bukan hanya di majlis saja." 

-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri-


Nah, baru masuk awal materi aja rasanya udah kayak ditabokin. Kok ya kutipan di atas ga aku banget :( Kalo lagi di kajian atau kumpul sama temen-temen kajian rasanya lisan bisa banget terjaga. Rasanya lisan dan hati mudah banget buat ucap dzikrullah. Tapi kalo udah ga di majlis ilmu, kalo lagi ngumpul sama temen-temen kantor, atau temen-temen SMP atau SMA, lisan kok ya jadi mudah banget ghibahin orang, nyinyirin orang, secara ga langsung ngerendahin orang. Kayak lupa kalo ada Yang Maha Melihat yang pengawasannya ga akan luput sedetikpun. Sedih :( semoga Allah jaga kita untuk bisa terus merasa diawasi sama Allah ya..


"Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat, tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat."

-Bilal ibn Sa'ad-


Kalo yang ini jlebnya luar biasa sih..Emang kuncinya supaya bisa menghindari maksiat itu senantiasa merasa diawasi sama Allah. Sering-sering evaluasi diri, mempehatikan diri di setiap keadaan. Sekali lagi, semoga Allah jaga kita untuk bisa terus merasa diawasi sama Allah...

Aku ga mau share materinya secara lengkap karena aku rasa itu masih jauh di luar kapasitas aku. Takut ada salah-salah penyampaian yang malah menyesatkan. Kalau ada yang mau denger kajian full nya, better bisa langsung cek youtube channelnya Ustadz Nuzul Dzikri di sini. Biasanya dalam seminggu atau dua minggu akan di upload kok. Semoga kutipan dari quotes di atas cukup jadi reminder buat kita untuk lebih menjaga lisan, menjaga sikap, menjaga perilaku karena setiap gerak gerik kita itu ada yang mengawasi, dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak..

Muraqabatullah,
sederhana tapi susahnya minta ampun..


Lots of love,

Dhianti Ayu.



لا تنظر إلي صغر المعصية, و لكن انظر من عصيت

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42219-bukan-besarnya-dosa-tetapi-kepada-siapa-bermaksiat.html
لا تنظر إلي صغر المعصية, و لكن انظر من عصيت
“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Ad-Daa’ wad Dawaa’ hal. 82]


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42219-bukan-besarnya-dosa-tetapi-kepada-siapa-bermaksiat.html
“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Ad-Daa’ wad Dawaa’ hal. 82]

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42219-bukan-besarnya-dosa-tetapi-kepada-siapa-bermaksiat.html
لا تنظر إلي صغر المعصية, و لكن انظر من عصيت
“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Ad-Daa’ wad Dawaa’ hal. 82]


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42219-bukan-besarnya-dosa-tetapi-kepada-siapa-bermaksiat.html
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...