Aku mengulum senyum ketika melihat sebungkus kecil cokelat rasa matcha di atas meja kerjaku saat aku baru kembali dari ruang rapat. Tapi belum sempat senyum itu mendarat sempurna, rasanya kayak ditarik balik. Karena makin sering aku mendapati cemilan semacam ini di mejaku, makin sering juga aku merasa bersalah. Padahal aku nggak salah apa-apa, kan? Aku segera memfoto cokelat tersebut dan mengirimkan fotonya kepada satu-satunya tersangka.
Alana Hanafiah
Ini kerjaan lo lagi ya?
Dan balasannya langsung aku terima dalam hitungan detik
Nazhif Pradhana
Titipan itu tuh
Titipan? Siapa yang akan percaya dengan jawabannya kalau ini bukan kali pertama aku menerima cemilan semacam ini di mejaku?
Alana Hanafiah
Titipan siapa?
Nazhif Pradhana
NN
Nah kan. Dia cuma nggak mau mengaku aja kalau ini adalah ulahnya. Kali ini cokelat. Dua hari sebelumnya segelas kopi. Minggu lalu sebungkus pistachio.
Namanya Nazhif. Rekan kerjaku yang rasanya sekarang bukan hanya sekedar rekan kerja. Aku lupa bagaimana awalnya kami bisa dekat. Mungkin karena sebelumnya kami satu divisi. Mungkin juga karena pembawaannya yang ekstrovert, sangat easy going, dan mudah bergaul. Atau mungkin karena kebetulan jokes nya bisa dengan mudah aku terima.
Aku nggak pernah merasa kedekatan kami istimewa karena karakternya yang memang sangat supel membuat Nazhif sangat mudah akrab dengan banyak orang, bukan hanya denganku. Dengan teman-temanku yang lain juga demikian.
Jangan kira segala jenis kudapan yang ada di mejaku itu dia berikan secara cuma-cuma, atau bentuk perhatiannya kepadaku secara spesial. Cokelat, kopi, pistachio, bakpia, dan segala kudapan lainnya dia berikan sebagai ucapan terima kasih atau imbalan karena aku berbaik hati mau menerima permintaan titip absennya.
Sejak pandemi, sistem presensi di kantorku memang cenderung lebih longgar. Kami cukup presensi menggunakan aplikasi pada smartphone kami, nggak perlu menggunakan mesin face recognition atau fingerprint. Berhubung rumah Nazhif berlokasi di ‘planet’ Bekasi dan sering kali datang terlambat, jadilah sesekali dia minta tolong titip absen paginya ke aku. Itu lah alasannya beberapa hari sekali tiba-tiba ada snack yang tergeletak di mejaku. Dan ini bukan soal snacknya. Ini soal kebiasaan. Pola.
Alana Hanafiah
Udah gue bilang nggak perlu kasih apa-apa, Zhif.
Dan aku selalu protes tiap kali dia memberikanku ini itu. Aku membantunya karena yang dia minta memang nggak memberatkanku. Jadi aku merasa nggak perlu diberikan apapun sebagai imbalan atau tanda terima kasih. Selain itu, aku juga nggak mau teman-temanku salah paham kalau melihat ada snack semacam itu di mejaku secara tiba-tiba.
Tapi seperti biasa, protesku cuma dibalas dengan stiker atau emoji receh dari dia.
Hari itu kerjaan lagi lumayan santai. Aku menyandar di kursi, scrolling timeline Instagram sambil nunggu jam makan siang. Tanpa sengaja, aku ngeklik story salah satu teman kantor, Dina, anak finance yang juga teman Nazhif.
Videonya singkat. Meja makan. Beberapa anak kantor lagi duduk bareng. Suasana ramai. Kamera sempat menyorot Nazhif, yang sedang memangku seorang anak kecil, tangannya sibuk membersihkan sisa es krim di pipi si anak. Di sebelahnya, seorang perempuan duduk santai sambil tertawa. Matanya penuh kelembutan, matanya seperti rumah.
Aku diam. Nggak ada tag, nggak ada penjelasan. Tapi aku tahu. Dan anehnya, video singkat itu berhasil menamparku lebih keras dari semua nasihat. Selama ini aku tahu. Tahu, tapi entah kenapa, selalu aku anggap sebagai hal kecil yang bisa aku pinggirkan. Bukan karena aku ada niat aneh. Bukan. Tapi karena hubungan kami memang nggak pernah kelewat batas. Cuma ngobrol. Cuma titip absen. Cuma bales-balesan chat. Cuma perhatian kecil kayak cemilan di meja. Cuma... cuma... cuma.
Ternyata kata cuma bisa menipu juga.
Karena tanpa sadar, aku mulai terbiasa. Nunggu chat-nya. Nunggu lelucon recehnya tiap pagi. Nunggu hal-hal sepele yang lama-lama jadi nggak sepele.
Dan lebih parahnya lagi, aku nggak pernah cerita ini ke siapa-siapa. Karena di mata orang, kedekatan kami cuma sebatas rekan kerja yang akrab. Yang kompak. Yang nggak mungkin ada apa-apa. Dan aku membiarkan anggapan itu terus hidup.
***
Sorenya, aku memutuskan buat mendatangi mejanya. Nggak ada cokelat atau kopi kali ini. Cuma aku yang berdiri sambil bawa dua bungkus snack dari pantry.
“Gue titip ini, ya,” kataku, menaruh bungkusan snack di mejanya.
Dia mengernyit. “Apaan?”
“Balasan. Buat semua titipan lo kemarin-kemarin. Gue lagi pengin nutup utang.”
Dia kelihatan bingung. “Eh, Lan,”
Aku senyum. Bukan senyum basa-basi, tapi senyum yang melepas.
“Mulai besok, cari orang lain buat nitip absen. Gue takut lo kebiasaan.”
Dan sebelum dia sempat tanya lebih lanjut, aku balik badan dan pergi. Pada langkah-langkahku yang terasa ringan tapi penuh itu, aku sadar; kadang yang perlu dijaga bukan perasaan orang lain, tapi batas-batas yang sempat kita longgarkan sendiri.
Dan mulai hari ini, aku belajar untuk nggak menerima titipan yang bukan hakku, terutama kalau yang menitipkannya bukan milikku.
***
Setelahnya, aku mulai membiasakan diri untuk bersikap seperlunya. Kalau kami ketemu di kantor, aku tetap menyapa. Kalau dia butuh bantuan soal kerjaan, aku tetap jawab. Tapi semuanya aku tahan dalam batas yang jelas, yang aku bentuk sendiri.
Mungkin terasa kaku. Tapi kaku lebih aman daripada salah.
Kadang aku masih nemu momen-momen kecil yang bikin aku mikir, "kalau dulu, dia pasti udah nyelipin jokes receh di situ." Atau, "kalau dulu, dia pasti udah bilang makasih pake bungkus snack." Tapi sekarang nggak. Sekarang kami cuma… rekan kerja biasa. Dan itu cukup.
Karena buatku, perhatian yang datang dari orang yang salah, bukan hal yang perlu disyukuri. Apalagi disimpan. Aku senang pernah dekat. Tapi aku lebih lega bisa mundur selangkah.
Biar gak ada yang perlu dijelaskan.
Biar gak ada yang perlu disesali.